EPISTEMOLOGI HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA

MUHAMMAD, APRIZAL ARSYITA (2022) EPISTEMOLOGI HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA. Doctoral thesis, UIN RADEN INTAN LAMPUNG.

	PDF Download (1MB)
	PDF Restricted to Repository staff only Download (9MB)

Abstract

ABSTRAK Polemik hukum perkawinan beda agama selalu menjadi pertengkaran paradigma kelompok konservatif dan progresif karena tidak diatur secara tekstual dalam peraturan hukum di Indonesia. Peristiwa konkrit ini semakin menarik untuk dikaji disebabkan tidak hanya terus terjadi penyelundupan hukum untuk mendapatkan pengakuan sah dari negara tetapi juga mereduksi kewibawaan hukum dan agama. Oleh karena itu, fokus permasalahan penelitian ini adalah bagaimana paradigma negara berdasarkan Pancasila pada sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif (ius constitutum) di Indonesia terhadap hukum perkawinan beda agama? bagaimana transformasi khasanah hukum keluarga Islam sebagai agama mayoritas dalam manifestasi hukum perkawinan beda agama di Indonesia? dan bagaimana desain hukum perkawinan beda agama terhadap pembaruan hukum keluarga di Indonesia? Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara menukik, menajam dan mendalam paradigma negara berdasarkan Pancasila pada sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif (ius constitutum) di Indonesia terhadap hukum perkawinan beda agama, untuk membantah tuduhan dikotomi dan Islamophobia dengan membuktikan transformasi khasanah hukum keluarga Islam di Indonesia serta menemukan desain hukum perkawinan beda agama terhadap pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) dengan metode penelitian kualitatif. Diskursus menggunakan teori hukum konservatif dan teori penemuan hukum dengan pendekatan perundang-undangan, teori maqashid asy�syariah dan teori al-ahkam al-khamsah dengan pendekatan kontekstual (bi al-ra’yi) serta teori hukum progresif dan teori keadilan dengan pendekatan legal social. Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dan ditopang data primer sebagai data pendukung. Analisis data bersifat deskriptif secara bertahap dan berlapis dalam imajinasi kreatifitas penulis. Hasil penelitian, yaitu pertama, paradigma negara berdasarkan Pancasila pada sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif (ius constitutum) di Indonesia terhadap hukum perkawinan beda agama adalah Indonesia menunjuk norma agama sebagai batu penjuru (sluitstuk) keabsahan keterlibatan hanya satu Tuhan dalam akad ikatan lahir batin perkawinan (mītṡāqan ghalīẓā) untuk menjaga kemurnian ketauhidan serta kebebasan forum eksternum berdasarkan persamaan kemanusiaan dan persatuan bangsa demi mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal. xii EPISTEMOLOGI HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA Pancasila menjadi lensa penyelundupan hukum terhadap perkawinan beda agama sebagai perbuatan hukum yang sah. Status hukum perkawinan beda agama adalah diperbolehkan apabila dilakukan menurut hukum mempelai laki-laki (primus inter pares) atas persetujuan kedua mempelai. Kedua, transformasi khasanah hukum keluarga Islam sebagai agama mayoritas dalam manifestasi hukum perkawinan beda agama di Indonesia adalah kafaah dan hifz ad-din berupa diperbolehkan (mubah) perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim demi melindungi populasi umat Islam. Ketiga, desain perkawinan beda agama terhadap pembaruan hukum keluarga di Indonesia adalah naskah kalimat, yaitu Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu sama. Desain ini menawarkan gagasan teori toleransi inklusif berkelanjutan yang mengandung unsur kesepakatan berdasarkan kemanusiaan dan kesejahteraan guna memberikan kepastian, kemanfaatan hukum dan rasa keadilan akibat ketertinggalan hukum atas perubahan zaman dan kebutuhan sosial. xiii EPISTEMOLOGI HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA Pancasila menjadi lensa penyelundupan hukum terhadap perkawinan beda agama sebagai perbuatan hukum yang sah. Status hukum perkawinan beda agama adalah diperbolehkan apabila dilakukan menurut hukum mempelai laki-laki (primus inter pares) atas persetujuan kedua mempelai. Kedua, transformasi khasanah hukum keluarga Islam sebagai agama mayoritas dalam manifestasi hukum perkawinan beda agama di Indonesia adalah kafaah dan hifz ad-din berupa diperbolehkan (mubah) perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan non muslim demi melindungi populasi umat Islam. Ketiga, desain perkawinan beda agama terhadap pembaruan hukum keluarga di Indonesia adalah naskah kalimat, yaitu Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu sama. Desain ini menawarkan gagasan teori toleransi inklusif berkelanjutan yang mengandung unsur kesepakatan berdasarkan kemanusiaan dan kesejahteraan guna memberikan kepastian, kemanfaatan hukum dan rasa keadilan akibat ketertinggalan hukum atas perubahan zaman dan kebutuhan sosial. ABSTRACT The polemic of interfaith marriage law has always been a paradigm shift between conservative and progressive groups because it is not textually regulated in Indonesian legal regulations. This concrete incident is increasingly interesting to study because it not only continues to smuggle law to obtain legal recognition from the state but also reduces the authority of law and religion. Therefore, the focus of this research problem is how is the state paradigm based on Pancasila on the principle of the One Godhead in positive law (ius constitutum) in Indonesia against interfaith marriage law? How is the transformation of the repertoire of Islamic family law as the majority religion in the manifestation of interfaith marriage law in Indonesia? and what is the law design of interfaith marriage for family law reform in Indonesia? The purpose of this study is to analyze in a dive, sharpen and depth the paradigm of the state based on Pancasila on the principle of the One Godhead in positive law (ius constitutum) in Indonesia against interfaith marriage law, to refute accusations of dichotomy and Islamophobia by proving the transformation of the repertoire of Islamic family law in Indonesia and to find out the law design of interfaith marriage for family law reform in Indonesia. This research includes library research with qualitative research methods. The discourse uses conservative legal theory and legal discovery theory with a statutory approach, maqashid ash�syariah theory and al-ahkam al-khamsah theory with a contextual approach (bi al-ra'yi) as well as progressive legal theory and justice theory with a social legal approach. This study uses secondary data as the main data and is supported by primary data as supporting data. Data analysis is descriptive in layers in stages and layers in the the creativity imagination of the writer. The results of the study, first, the state paradigm based on Pancasila on the principle of the One Godhead in positive law (ius constitutum) in Indonesia against interfaith marriage law is that Indonesia appoints religious norms as the cornerstone (sluitstuk) the validity of the involvement of only one God in the binding contract inner and outer marriage (mītṡāqan ghalīẓā) to maintain the purity of monotheism and freedom of the external forum based on equality of humanity and national unity in order to create a happy and eternal family. Pancasila is a legal smuggling lens against interfaith marriages as a legal legal act. The legal status of interfaith marriage is permissible if it is carried out according to the law of the groom xiv EPISTEMOLOGI HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA (primus inter pares) with the consent of the bride and groom. Second, the transformation of the repertoire of Islamic family law as the majority religion in the manifestation of interfaith marriage law in Indonesia is kafaah and hifz ad-din in the form of permissible (mubah) marriages of Muslim men with non-Muslim women in order to protect the Muslim population. Third, the design of interfaith marriages for family law reform in Indonesia is a sentence text, namely Marriage is legal, if it is carried out according to the law of the religion and the belief is the same. This design offers the idea of a sustainable inclusive tolerance theory that contains elements of an agreement based on humanity and welfare in order to provide certainty, the benefit of law and a sense of justice due to the law behind the changing times and social needs. xv EPISTEMOLOGI HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA (primus inter pares) with the consent of the bride and groom. Second, the transformation of the repertoire of Islamic family law as the majority religion in the manifestation of interfaith marriage law in Indonesia is kafaah and hifz ad-din in the form of permissible (mubah) marriages of Muslim men with non-Muslim women in order to protect the Muslim population. Third, the design of interfaith marriages for family law reform in Indonesia is a sentence text, namely Marriage is legal, if it is carried out according to the law of the religion and the belief is the same. This design offers the idea of a sustainable inclusive tolerance theory that contains elements of an agreement based on humanity and welfare in order to provide certainty, the benefit of law and a sense of justice due to the law behind the changing times and social needs. ملخص ٌطبٌّب وبْ اٌزذي صٛي لبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ ثّخبثخ ٔمٍخ ٔٛػ١خ ث١ ٓاٌّزّٛػبد ب فٟ اٌٍٛائش اٌمبٔٛٔ١خ اإلٔذٚٔ١غ١خ. ٘زٖ اٌضبدحخ اٌٍّّٛعخ اٌّضبفظخ ٚاٌتمذِ١خ ألٔٗ ٌُ ٠تُ تٕظ١ٔ ّٗظ١ ِخ١شح ٌال٘تّبَ ثشىً ِتضا٠ذ ٌٍذساعخ ألٔٙب ال تغتّش فمؾ فٟ تٙش٠ت اٌمبْٔٛ ٌٍضظٛي ػٍٝ اػتشاف لبٟٔٛٔ ِٓ اٌذٌٚخ ٌٚىٓ أ٠ ؼب تمًٍ ِٓ عٍطخ اٌمبْٔٛ ٚاٌذ٠ٌ .ٓزٌه ، تشوض ِشىٍخ اٌجضج ٘زٖ ػٍٝ و١ف١خ ل١بَ ّٔٛرد اٌذٌٚخ ػٍٝ Pancasila ػٍٝ ِجذأ األٌٛ٘١خ اٌٛاصذح فٟ اٌمبْٔٛ اٌٛػؼٟ ) ius constitutum )فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب ػذ لبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ؟ و١ف ٠تُ تغ١١ش ِشرغ لبْٔٛ األعشح اإلعالِٟ ثبػتجبسٖ د٠ ٓاألغٍج١خ فٟ ِظٙش ِٓ ِظب٘ش لبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب؟ ِٚب ٘ٛ تظّ١ ُلبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ إلطالس لبْٔٛ األعشح فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب؟ اٌغشع ِٓ ٘زا اٌجضج ٘ٛ اٌغٛص ٚاٌشضز ٚاٌتضٍ١ ًاٌّتؼّك ٌّٕٛرد اٌذٌٚخ اٌمبئُ ػٍٝ Pancasila ػٍٝ ِجذأ هللا اٌٛاصذ اٌمذ٠ش فٟ اٌمبْٔٛ اٌٛػؼٟ فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب ثشأْ لبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓ األد٠بْ ، ٌذصغ االتٙبِبد ثبالٔمغبَ ٚاٌخٛف ِٓ اإلعالَ ِٓ خالي ئحجبد اٌتضٛي فٟ ِزبي لبْٔٛ األعشح اإلعالَ فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب ٚئ٠زبد تظّ١ٌ ُمبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ إلطالس لبْٔٛ األعشح فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب ٠شًّ ٘زا اٌجضج اٌجضج اٌّىتجٟ ثأعبٌ١ت اٌجضج إٌٛػٟ. ٠غتخذَ اٌخطبة إٌظش٠خ اٌمبٔٛٔ١خ اٌّضبفظخ ٚٔظش٠خ االوتشبف اٌمبٟٔٛٔ ثّٕٙذ تشش٠ؼٟ ، ٚٔظش٠خ ِمشذ اٌشش٠ؼخ ، ٚٔظش٠خ األصىبَ اٌخبِغخ ثّٕٙذ ع١بلٟ )ثبٌشأٞ( ٚوزٌه إٌظش٠خ اٌمبٔٛٔ١خ اٌتمذِ١خ ٚٔظش٠خ اٌؼذاٌخ ِغ ٔٙذ لبٟٔٛٔ ارتّبػٟ. تغتخذَ ٘زٖ اٌذساعخ اٌج١بٔبد اٌخبٔٛ٠خ ثبػتجبس٘ب اٌج١بٔبد اٌشئ١غ١خ ٚتذػّٙب اٌج١بٔبد األٌٚ١خ وج١بٔبد داػّخ. تضٍ١ ًاٌج١بٔبد ٚطفٟ ػٍٝ ِشاصً ٚؽجمبد فٟ ئثذاع اٌّإٌف. ، ّٔٛرد اٌذٌٚخ اٌمبئُ ػٍٝ Pancasila ػٍٝ ِجذأ ٔتبئذ اٌذساعخ ، ٚثبٌتضذ٠ذ أٚال اٌشثٛث١خ اٌٛاصذح فٟ اٌمبْٔٛ اٌٛػؼٟ )constitutum ius )فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب ػذ لبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓ األد٠بْ ٘ٛ أْ ئٔذٚٔ١غ١ب تؼ١ ّٓاٌمٛاػذ اٌذ٠ٕ١خ وضزش اٌضاٚ٠خ )sluitstuk )طضخ ئششان ئٌٗ ٚاصذ فمؾ فٟ اٌؼمذ اٌٍّضَ ثبٌضٚاد اٌذاخٍٟ ٚاٌخبسرٟ )ِتٛلبْ غال( ٌٍضفبظ ػٍٝ ٔمبء اٌتٛص١ذ ٚصش٠خ إٌّتذٜ اٌخبسرٟ ػٍٝ أعبط اٌّغبٚاح اإلٔغبٔ١خ ٚاٌٛصذح اٌٛؽٕ١خ ِٓ أرً تىٛ٠ ٓأعشح عؼ١ذح ٚأثذ٠خ. Pancasila٘ ٟ ػذعخ تٙش٠ت لبٔٛٔ١خ ػذ اٌضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ وؼًّ لبٟٔٛٔ. اٌٛػغ اٌمبٟٔٛٔ ٌٍضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ ِغّٛس ثٗ ئرا تُ ٚفم pares inter primus )ثّٛافمخ اٌؼشٚط ب ٌمبْٔٛ اٌؼش٠ظ ) ب ، تضٛي ِشرغ لبْٔٛ األعشح اإلعالِٟ ثبػتجبسٖ د٠بٔخ األغٍج١خ فٟ ِظٙش ِٓ ِظب٘ش ٚاٌؼش٠ظ. حبٔ١ لبْٔٛ اٌضٚاد ث١ ٓاألد٠بْ فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب ٘ٛ اٌىفبٌخ ٚصبفع اٌذ٠ ٓفٟ شىً اٌضٚاد اٌّغّٛس )اٌّغّٛس ثٗ( ٌشربي ِغٍّ١ٔ ِٓ ٓغبء غ١ش ِغٍّبد ثبٌتشت١ت. ٌضّب٠خ اٌغىبْ اٌّغٍّ١ .ٓب ، تظّ١ ُاٌض٠زبد ث١ٓ حبٌخ ب األد٠بْ إلطالس لبْٔٛ األعشح فٟ ئٔذٚٔ١غ١ب ٘ٛ ٔض رٍّخ ، أٞ أْ اٌضٚاد لبٟٔٛٔ ، ئرا تُ تٕف١زٖ ٚفم ٌمبْٔٛ اٌذ٠ٚ ٓاٌّؼتمذ ٘ٛ ٔفغٗ. ٠مذَ ٘زا اٌتظّ١ ُفىشح ٔظش٠خ اٌتغبِش اٌشبًِ اٌّغتذاَ اٌتٟ تضتٛٞ ػٍٝ ػٕبطش اتفبق لبئُ ػٍٝ اإلٔغبٔ١خ ٚاٌشفب٘١خ ِٓ أرً تٛف١ش اٌ١م١ٚ ، ٓاالعتفبدح ِٓ اٌمبْٔٛ ٚاٌشؼٛس ثبٌؼذاٌخ ثغجت اٌمبْٔٛ ٚساء تغ١ش األٚلبد ٚاالصت١بربد االرتّبػ١خ.

Actions (login required)

View Item