PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Marwin PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA. ASAS (Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam).

[thumbnail of ABSTRAK .docx] HTML
Download (31kB)

Abstract

ABSTRAK Selain perdebatan tentang perlu atau tidaknya pidana mati, perdebatan juga terjadi berkenaan dengan cara pelaksanaan pidana mati itu sendiri. Perdebatan tentang alasan manusiawi atau tidaknya cara pelaksanaan pidana mati tersebut. Sebagaimana diketahui terdapat berbagai cara pelaksanaan eksekusi pidana mati yang diterapkan diberbagai negara, seperti dengan pancung, gantung, suntik mati, dilempar batu, sengatan listrik, atau tembak. Cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia telah beberapa kali diubah, yaitu menurut WvS 1915 dilaksanakan dengan digantung, menurut Osamu Gunrei Nomor 1 tanggal 2 Maret 1942 dilaksanakan dengan ditembak mati, menurut WvS 1915 juncto Staatblad 1945 Nomor 123 dilaksanakan seperti dalam acara militer dengan ditembak mati, dan menurut KUHP juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, dan Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 dilaksanakaan dengan ditembak sampai mati. Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Ketentuan Pasal 11 KUHP diubah oleh Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum atau Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Ketentuan ini, selanjutnya telah disempurnakan dengan diberlakukannya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008, menyatakan bahwa cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 02/Pnps/1964 tidak bertentangan dengan UUD 1945, yang dengan demikian dapat diartikan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati tidak melanggar HAM khususnya hak untuk tidak disiksa sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak, memang menimbulkan rasa sakit, namun rasa sakit yang dialami oleh terpidana tidak dapat dikatakan sebagai suatu bentuk penyiksaan terhadap terpidana. Rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati akan tetap dirasakan oleh terpidana, walaupun dilakukan dengan cara yang berbeda selain dengan ditembak sampai mati, dan rentang waktu kematian yang dialami oleh terpidana tidak berbeda seara signifikan. Kata kunci: pelaksanaan pidana mati, hak asasi manusia.

Item Type: Article
Subjects: Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga)
Divisions: UNSPECIFIED
Depositing User: Users 1187 not found.
Date Deposited: 10 Apr 2019 07:34
Last Modified: 10 Apr 2019 07:34
URI: http://repository.radenintan.ac.id/id/eprint/6263

Actions (login required)

View Item View Item